Rabu, Oktober 13, 2010

Mubah

MUBAH 

Mubah merupakan term terakhir dari pembagian hukum taklifiy (hukum yang mengandung tuntutan mengerjakan dan meninggalkan, ataupun memberi pilihan antara keduanya). Dalam kajian ushul fiqh mubah didefinisikan sebagai titah Allah (atau Rasul sebagai syāri’ majāziy) yang memberikan opsi (pilihan) antara berbuat dan meninggalkan. Dalam konteks hukum mubah ini manusia diberi kebebasan memilih untuk mengerjakan ataupun meninggalkan. Karena titah tersebut tidak mengandung tuntutan untuk berbuat maupun tuntutan agar ditinggalkan. Dengan begitu, orang (mukallaf) yang melakukan perbuatan mubah tidak mendapat pahala dan tidak mendapat siksa. Demikian juga orang (mukallaf) yang meninggalkan perbuatan mubah tidak berhak disiksa dan juga tidak berhak memperoleh pahala. Maka sering kita mendengar fiqh mendefinisikan bahwa mubah adalah perbuatan yang tidak diberi ganjaran ketika dilakukan dan tidak disiksa ketika ditinggalkan. Hukum mubah ini juga kerap kali diucapkan dengan memakai kata halal atau jaiz (wenang). (M. Abu Zahrah, Ushūl Fiqh, hlm. 46; Muhammad bin ‘Alawiy al-Malikiy, al-Qawā’id al-Asāsiyah fī Ushūl al-Fiqh, hlm. 12). Secara gamblang mubah dapat dilacak melalui dua cara; pertama, justifikasi (pengakuan) langsung dari syari’ melalui nash (teks al-Qur’an dan Hadits) bahwa suatu perbuatan dibolehkan untuk dikerjakan. Misalnya dengan menggunakan lafadz uhilla lakum (dibolehkan bagi kamu sekalian), laisa ‘alaikum junāhun/lā junāha ‘alaikum (tidak berdosa bagi kamu sekalian). Demikian juga, kata perintah (amr) yang menunjukkan makna ibāhah (kebolehan) karena ada faktor eksternal (qarīnah khārijīyah). Biasanya alasan yang sering digunakan ulama’ sebagai qarīnah khārijīyah adalah karena perbuatan itu merupakan sifat alami-naluriyah manusia, seperti makan, minum dan nikah. Sebagaimana firman Allah: وَكُلُوْا مِنْ رِزْقِهِ وَإلَيْهِ النُّشُوْرِ “…dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu dibangkitkan”.(QS. al-Mulk/67: 15). Walaupun ayat ini menggunakan perintah (amr), bukan berarti makan menjadi wajib hukumnya, karena persoalan makan merupakan alami-naluriyah manusia. Tidak diperintahpun yang namanya manusia pasti butuh makan. Sama halnya dengan minum dan nikah. Makna ibāhah yang diambil dari redaksi amr inilah yang menyediakan ruang ijtihad, sehingga beragam pendapat muncul di kalangan ulama’. Sebagian bersikukuh dengan makna asal dari amr, yaitu menunjukkan suatu keharusan (wajib). Biasanya golongan ini diwakili oleh ulama’ kalangan al-Dhahiriy. Sedangkan yang lain, menurunkan tensi perintah itu menjadi sunnah, atau bahkan mubah. Di sinilah ajang perbedaan hukum itu muncul, sesuai dengan metode dan hasil penemuan terhadap qarīnah khārijīyah dari masing-masing mereka. Kedua, tidak ada penjelasan dari syāri’ tentang ketidakbolehan perbuatan tersebut. Dalam kasus ini dikembalikan pada prinsip dasar, yaitu bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah boleh (al-barā’ah al-ashliyah). Contohnya, semua perbuatan atau transaksi yang tidak tercantum hukumnya dalam al-Qur’an ataupun Hadits. Dengan catatan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariah maka dihukumi boleh (mubah). (Abd. Wahhab Khallaf, Ilm Ushūl Fiqh, hlm. 115). Hukum mubah terkadang hanya ada dalam tataran ide. Ketika dipraktikkan dalam bentuk nyata akan berkait-kelindan dengan yang lain, sehingga bisa berubah menjadi wajib, sunnah, haram dan makruh. Seperti nikah yang hukum asalnya adalah mubah, tetapi bagi orang yang akan terjerumus dalam perzinahan seandainya tidak segera menikah, maka baginya nikah menjadi wajib. Atau nikah dengan tujuan untuk menyakiti isteri, balas dendam terhadap perempuan, maka nikah bagi orang ini menjadi terlarang (haram).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas Mahasiswa
Tugas SMA
Tugas SMK
Lain-Lain